Pagi ini aku harus
berangkat ke kota kelahiranku, masih lekat dalam fikiranku tentang masalah yang
takkunjung usai. Bukan untuk berlari namun, hanya ingin mencari kebebasan
semata, walau sementara. “Bu, Jihan berangkat dulu ya…”, “Kamu hati – hati ya
di jalan” aku melihat raut wajah yang lelah dan kini mulai menua, walau tak tega
tapi aku harus meninggalkan Jakarta sejenak. Setelah semua siap aku langsung
masuk ke dalam mobil. Semua begitu rumit dan berbelit, bahkan aku fikir bukan
aku orang yang tepat untuk mendapatkan ujian ini dari Tuhan. Siapa yang harus
aku salahkan? Kepada siapa aku harus mengadu? Tidak ada jawaban, dan hanya satu
jalan. Menghilang sejenak. Entah sampai kapan.
* Beberapa bulan yang lalu*
Hari
ini aku harus menyelesaikan perkara pembunuhan keluarga yang kaya raya itu. Walaupun
aku tahu bahwa mereka memang bersalah, tapi inilah tugasku sebagai seorang
pengacara yang professional. Namaku Jihan Khairunisa, seorang pengacara yang
membenci pekerjaan sendiri, aku selalu memakai topeng dalam menjalankan pekerjaan ini. Dan
itu semua hanya untuk membahagiakan kedua orang tuaku. Sudah hampir 2 tahun
setelah aku lulus di salahsatu fakultas hukum, aku terjun ke dunia hukum yang
sebenarnya. Memang berat rasanya harus membela seseorang yang belum tentu
benar. Tapi ini adalah tuntutan pekerjaan yang harus aku selesaikan. Dalam
kasus ini lagi – lagi aku dihadapkan pada kasus yang rumit. Seseorang membunuh
hanya karena menyembunyikan kasus korupsi. Dan aku harus membantu orang – orang
picik seperti mereka? Hanya satu doaku ‘Maafkan Aku Tuhan’.
“Bagaimana
Bu Jihan? Kami sudah membayar Ibu mahal, untuk membantu kami agar memenangkan
perkara ini” pihak keluarga itu kembali mencuap saat aku sedang pusing mencari
bukti – bukti. “Iya pak, di sidang besok kita pasti menang” dengan senyum aku
menjelaskan. “ Baiklah, kami percaya pada Ibu, sudah banyak perkara yang jauh
lebih sulit bukan? Jadi jangan kecewakan kami Bu” dan orang itu tertawa sinis
di hadapanku, ingin rasanya aku berteriak di wajahnya dan berkata ‘Aku gak sudi’
tapi apa daya? Ini takdir yang harus aku jalani. Selama hari itu aku sibuk
mencari bukti yang menguatkan orang jahat itu. Akhirnya hari persidangan tiba,
sidangpun dimulai. Persidangan berjalan lancar dan hakim menyetujui akan pengurangan
hukuman yang di jatuhkan kepada tersangka, dan akulah yang merasa paling
berdosa. “Terimakasih Bu Jihan, atas kerjasamanya” ucap orang itu setelah
sidang usai.
Sekitar
3 kasus yang aku selesaikan di bulan ini, dan di akhir pekan ini ada klien yang
menghubungiku kali ini dalam kasus yang sama aku membela pihak yang bersalah.
Kasusnya sangat sederhana, terjadinya tindakan tidak manusiawi di suatu
Perusahaan, sedangkan yang menjadi korban adalah seorang Ibu paruh baya yang
lusuh. Dan keesokan harinya aku harus melewati sidang pertama. Saat sidang
belum dimulai, aku bertemu seseorang yang aku rasa tidak asing. Mungkinkah dia?
Dan persidangan dimulai saat hakim ketua datang. Betapa terkejutnya aku saat
melihat siapa pengacara dari pihak korban. Roni. Roni Dewanto.
“Ya,
bagaimana apakah terdakwa memiliki bukti yang kuat jika tidak pernah ada kekerasan
saat korban bekerja di Perusahaan anda?” Tanya hakim kepadaku
“
Hakim yang terhormat, bahwasanya sudah kami telaah lebih jauh, korban hanya menyimpan
dendam pribadi kepada terdakwa, dan luka – luka itu hanya buatan korban” Ucapku
“Apa
benar begitu, Bu Yatmi?” Tanya hakim kepada korban
“Tidak
benar pak hakim” jawab Ibu itu dengan gugup
“Maaf
Hakim yang terhormat saya potong, darimana terdakwa tahu bahwa Bu Yatmi
memiliki dendam tersendiri? Dan kami juga telah memiliki bukti pribadi yang
menguatkan adanya kekerasan yang diterima Bu Yatmi selama di Perusahaan”
“Ya,
Silahkan anda perlihatkan bukti tersebut” ucap hakim ketua
“Ini
Hakim yang terhormat, dari bukti foto tersebut dapat dilihat bahwa pihak
perusahaan tidak memperlakukan karyawannya dengan manusiawi.” Jelas Roni dan
itu membuatku tersenyum tipis.
“
Bagaimana saudara terdakwa? Apa ada pembelaan dengan adanya bukti ini?” Tanya
hakim ketua kepadaku.
“Tidak
ya Hakim” jawabku lemas namun aku merasa lega.
“Baiklah
dengan adanya bukti – bukti dan pengakuan, telah ditetapkan bahwa terdakwa
melanggar 3 pasal berlapis, dan harus menerima hukuman penjara selama 5 tahun
dan denda Rp.123.000.000” dan hakim ketok palu.
Setelah
sidang usai aku meminta maaf kepada pihak Terdakwa karena gagal menyelesaikan
perkara yang tadi dihadapi. Mereka marah dan mencaci, tapi aku merasa lebih
bahagia seperti ini.
“Hebat
kamu” ucap seseorang saat aku menikmati minuman kopi di warung dekat
pengadilan. “Hai, Ron apa kabar?” tanyaku sedikit gugup. “Baik, kamu gimana?”,
“ Ya beginilah tidak terlalu bahagia” jawabku sambil meneguk kopi. “ Kenapa?
Karena pekerjaanmu ini?” aku tidak menjawab hanya tersenyum dan mengangguk,
dengan itu akupun yakin kalau Roni akan mengerti. “Sudahlah, lakukan apa yang
ingin kamu lakukan Jihan, dan aku….” Tiba – tiba ucapan Roni terhenti “ Kenapa
Ron?” , “Aku selalu mendukung kamu Jih” aku hanya terdiam beribu bahasa.
Ya
Roni adalah temanku saat masih berada di bangku kuliah. Aku dan Roni bersahabat
cukup dekat. Dan semua itu sirna setelah adanya rasa Cinta diantara aku dan
Roni, cukup sederhana tapi maknanya sungguh luarbiasa. Aku menyembunyikan rasa
ini dengan rasa sakit yang teramat, bahkan aku rela melakukan banyak hal bodoh.
Tanpa aku harus tahu alasan mengapa aku melakukannya. Sampai pada akhirnya saat
hujan itu semua terungkap. Saat itu di halte bus “Dingin ya Jih?” Tanya Roni
dengan sedikit berteriak, karena memang saat itu hujan sangat lebat “Iya, Ron
aku kedinginan” jawabku berusaha berteriak “Kamu pake jaket aku aja ya, nanti
kamu sakit” Roni memakaikan jaket kulitnya ketubuhku yang memang sudah
menggigil “ Makasih ya Ron” jawabku sambil tersenyum. Aku yakin bahwa Roni juga
merasakan dingin yang luarbiasa karena hampir 4 jam hujan belum reda, dan belum
ada bus yang lewat. “Kamu pake jaket kamu aja ya, aku udah ga apa – apa kok”
kataku sambil melepaskan jaket, tapi tanganku ditahan Roni “Udah kamu aja yang
pake aku ga apa – apa” aku terdiam. Aku meminta Roni untuk duduk di sampingku
dan aku memeluknya. “Dengan begini kamu ga akan kedinginan, aku juga ga
kedinginan” kataku lirih. Namun, tak lama Roni menangis. “Kamu kenapa Ron, kamu
sakit ya?” tanyaku khawatir. “ Aku… Aku mencintaimu maafkan aku” ucap Roni
dengan
Sudah
hampir 2 tahun sejak wisuda aku tidak perbah bertemu dangan Roni dan ternyata
sekarang, detik ini, ada Roni dihadapanku. Apakah masih dengan rasa yang sama?
Sejak
bertemu dengan Roni kemarin di persidangan, perasaanku menjadi campur aduk, ada
rasa rindu, malu, dan mungkin cinta. Tapi apa yang harus aku perbuat sekarang,
aku hanya berharap dan terus berharap. Tuhan aku ingin melepaskan pekerjaan
ini, aku ingin menjadi manusia yang lebih baik, bantu aku Tuhan. Aku lelah
berada di posisi seperti ini akupun muak dengan semua kebohonganku dan semua
rasa bersalahku yang tertumpuk bagaikan sampah yang siap dibakar. Apakah Roni
bisa membantuku keluar dari belenggu kebimbangan ini? Apakah aku bisa bersama
Roni?
Ternyata
pertemuanku di persidangan dengan Roni bukan untuk yang terakhir, 2 bulan setelahnya
ada kasus baru yang harus aku selesaikan kembali. Yaps, Roni berada pada pihak
korban dan aku masih sama selalu berada pada pihak yang mau membayarku dengan
harga yang mahal. Perkara kali ini tentang pelecehan seksual yang dilakukan
seorang lelaki dewasa berusia 45 tahun dengan wanita miskin berusia 25 Tahun.
Menurut keterangan yang aku ambil dari klien, sang wanita mengadukannya
kepengadilan karena dia tidak mau menepati janjinya untuk menikahi wanita itu
dan mengurus buah hati hasil dari perbuatan bejat yang dia lakukan. Tidak ada
bukti yang dapat menguatkan korban, karena tidak pernah ada tindakan kekerasan
yang dilakukan pria ini. Sebenarnya ini memudahkanku untuk menyelesaikannya,
tapi ada rasa yang mengganjal. “Bu Jihan, saya minta ibu dengan segera
menyelesaikan kasus ini, karena saya masih banyak urusan yang jauh lebih
penting daripada harus datang ke persidangan untuk masalah yang sangat sepele
seperi ini, bagi saya waktu adalah uang bu, jadi percepatlah prosesnya” aku
hanya memandangnya dan berfikir ‘apakah pria ini tidak memiliki hati nurani?’
sebelum sidang awal dimulai aku bertemu dengan Roni.
“Jihan,
kamu yang membantu Pak Gery dalam kasus esok hari?” Tanya Roni
“Iya,
kamu juga kan yang membantu Bu Yasmin?” tanyaku kembali
“Iya,
Jihan, sampai kapan kamu akan melakukan pekerjaan ini?”
“Aku
tidak tahu, sebenarnya aku bingung harus berbuat apa besok, aku juga perempuan
Ron, aku faham betul apa yang dirasakan Bu Yasmin” jelasku padanya
“Lalu,
kenapa kamu masih ragu? Aku yakin dan percaya ada jalan lain Jihan, untuk
mencapai kesuksesan dengan cara yang lebih baik”
“Rasa
ini masih sama Ron, keraguan yang membuat aku semakin tenggelam. Orang tuaku”
jelasku lirih
“Mereka
pasti mengerti Jihan, jalan hidup yang kamu pilih itu hanya kamu yang bisa
menentukannya, apa yang akan kamu lakukan jika posisi korban –korban yang kamu
pojokan adalah orang tua kamu Jihan?”
Aku
bingung harus berkata apa, yang jelas aku masih butuh waktu untuk menyelesaikan
semuanya.
Dan
hari persidangan awal tiba, aku sudah memiliki berbagai sanggahan yang mungkin
akan membantu selama di persidangan. “ Kepada pengacara korban, silahkan
mengajukan segala hal yang ingin disampaikan” ucap hakim ketua
“
Iya, terimakasih Hakim ketua yang terhormat. Menurut pengakuan yang diutarakan
korban kepada saya, dan berbagai bukti yang telah saya dapatkan saudara
terdakwa telah melakukan tindakan pelecehan seksual kepada korban, dan mengancam
korban jika melaporkan kepada yang berwajib, keluarga korban akan di terror
oleh terdakwa”
“Maaf
pak Hakim, saya ingin mengklarifikasi, menurut keterangan terdakwa bahwasanya
korban tidak pernah dilecehkan, melainkan mereka sama – sama saling mencintai.
Dan korban juga meminta sebagian dari harta yang dimiliki oleh terdakwa untuk
anaknya, yang menurut keterangan korban itu adalah buah hati dari korban dan
terdakwa. Namun. Terdakwa menolak karena tidak ada bukti yang menyatakan bahwa
anak itu adalah buah hati mereka”
“Ya
bagaimana ada tambahan dari pihak korban?”
“Ada,
pak Hakim, surat pernyataan yang dibuat oleh terdakwa yang berisi pernyataan
pembagian harta kepada Bu Yasmin. Didalam surat ini terdakwa menyatakan bahwa
dia bersedia mengurus segala keperluan Bu Yasmin dan anaknya”
“Bagaimana
saudara Pengacara dari pihak tersangka?”
“Maaf
pak Hakim ketua, tapi tetap saja tidak ada bukti bahwa anak yang dikatakan tadi
adalah anak saudara Gery, dijelaskan dalam surat tersebut bahwa Pak Gery akan
menanggung segala kebutuhan korban jika memiliki anak dari saudara Gery, jika
tidak maka itu akan hilang”
“Apa
ada bukti yang menyatakan bahwa anak yang dimaksud adalah darah daging terdakwa?”
“
Belum ada, pak Hakim, mungkin akan kami bawa pada sidang berikutnya”
Setelah
terus berdebat akhirnya sidang ditunda sampai 1 minggu kedepan. Dan itu
membuatku semakin pusing, mungkin karena aku berhadapan dengan Roni, atau aku
merasakan penderitaan yang dirasakan Bu Yasmin, atau rasa benciku terhadap pak
Gery yang merendahkan perempuan? Semua itu berlawanan dengan yang harus aku lakukan.
Sekarang dimana aku harus mencari bukti – bukti yang menguatkan pak Gery pada
sidang berikutnya.
“Sudahlah
Jihan, apalagi yang ingin kamu lakukan?” ucap Roni di selasar ruang sidang.
“Tidak
ada” dengan raut wajah yang menurutku cukup membuktikan bahwa aku sedang kesal.
“Aku
kenal kamu Jihan, lakukan apapun yang ingin kamu lakukan, tapi aku yakin kamu
tidak akan mampu menahan lagi” Jelas Roni sambil menunjuk kearah hatiku.
“Aku
tahu, dan aku akan melakukannya” aku langsung pergi meninggalkan Roni, yang aku
lihat masih dengan wajah bingung.
Malam
demi malam berlalu, aku selalu memikirkan perkara yang harus aku hadapi nanti.
Membela manusia yang tidak berhati. Aku memutuskan untuk mencari jalan terbaik.
Aku mengundurkan diri.
Keesokan
harinya dikantor di ruanganku “Pak Gery, saya minta maaf sebesar – besarnya
karena saya tidak dapat membantu pak Gery dalam menyelesaikan perkara minggu
besok, silahkan bapak mencari pengacara lain, karena saya tidak mungkin terus
membela bapak yang jelas – jelas bersalah”
“Kenapa?
Apa kurang bayaran yang saya berikan kepada anda?” ucap pak Gery dengan nada
yang tidak menyenangkan.
“Bukan
pak, ada alasan lain, kalau bapak mau bayaran saya akan saya kembalikan” ucapku
ketus
“Iya,
saya juga harus mendapatkan ganti rugi dari pengunduran diri yang anda lakukan,
sesuai dengan kontrak yang telah kita setujui di awal”
“
Iya pak saya setuju”
“Bangsat!!!!
pengacara macam apa anda ini” lalu kemudian Pak Gery keluar ruangan dengan
membanting pintu sangat keras.
Aku
langsung lemas dan masih belum percaya dengan yang baru saja aku lakukan. Dan
sekarang aku dan keluargaku harus siap hidup sederhana, karena kontrak dan ganti
rugi yang harus aku tanggung kepada pak Gery dan itu jumlahnya tidak sedikit.
Tapi aku merasakan kedamaian, dan aku juga mendengar kabar bahwa pak Gery kalah
di persidangan dan masuk penjara sesuai dengan hukuman yang harus dia terima.
Ting
tong ting tong bel rumah berbunyi, dan aku langsung melihat siapa yang
datang, ternyata Roni, tapi dia tidak sendiri. “Hai, masuk Ron” aku
mempersilahkan Roni dan orang itu masuk kerumah. “Iya makasih ya Jih, oh iya
Ibu kamu dimana?” Tanya Roni “Ibu aku lagi sakit, dia ada di kamar, oh iya
kalian mau minum apa?”,”Ohh ga usah, ga usah kita Cuma sebentar kok Jih, Ibu
kamu sakit apa Jih?”, “ Entahlah, mungkin dia masih terpukul dengan situasi
yang sedang kami hadapi sekarang, oh iya Ron, ini siapa ya?” tanyaku penasaran
“ oh iya aku lupa, ini Fanny tunangan aku, jadi aku sama Fanny kesini mau
memberikan undangan pernikahan kami minggu depan”, Damn. Apa? Menikah, seketika
aku tersentak. “Ka.. kalian mau menikah minggu depan?” , “Iya aku sama Roni,
menikah InsyaAllah hari Jum’at minggu depan, aku minta doanya ya” wanita itu
tersenyum sambil berhadapan dengan Roni. “ Oh iya, selamat ya semoga kalian
bahagia, tapi aku minta maaf soalnya kemungkinan aku ga bisa datang, soalnya
ada acara di luar kota dan terlanjur buat janji” , “Yahh, Jihan… ya sudah tidak
apa – apa, yakan sayang?” Roni hanya mengangguk dan tersenyum. “ Ya sudah aku
sama Fanny mau menyebarkan undangan lagi, makasih ya Jihan, salam juga buat Ibu
kamu” , “Oh iya iya, nanti aku bilang ke Ibu” . Setelah pintu rumah terkunci
aku lemas dan masih belum percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Roni
akan menikah. Sekarang air mata ini tidak dapat aku bendung lagi. Aku
memutuskan untuk pergi besok.
Pagi ini aku harus
berangkat ke kota kelahiranku, masih lekat dalam fikiranku tentang masalah yang
takkunjung usai. Bukan untuk berlari namun, hanya ingin mencari kebebasan
semata, walau sementara. “Bu, Jihan berangkat dulu ya…”, “Kamu hati – hati ya
dijalan” aku melihat raut wajah yang lelah dan kini mulai menua, walau tak tega
tapi aku harus meninggalkan Jakarta sejenak. Setelah semua siap aku langsung
masuk kedalam mobil. Semua begitu rumit dan berbelit, bahkan aku fikir bukan
aku orang yang tepat untuk mendapatkan ujian ini dari Tuhan. Siapa yang harus
aku salahkan? Kepada siapa aku harus mengadu? Tidak ada jawaban, dan hanya satu
jalan. Menghilang sejenak. Entah sampai kapan.
Seperti dugaanku di
sini ini aku merasa lebih damai, dan tentram. Sesampainya di Bali tempat
kelahiranku, aku langsung ke rumah nenekku. “Nenek…. Aku kangen banget sama
nenek, aku mau sama nenek disini, aku capek nek” aku langsung memeluk nenek dan
menangis “ Iya, nenek juga kangen banget sama Jihan, tapi Jihan kenapa? Ada
masalah ya?” aku hanya mengagguk “ Ya sudah lebih baik kamu beberes dulu, terus
istirahat baru nanti kamu cerita ya sama Nenek” “ Oke deh nek, aku mandi dulu
yaa” aku langsung menuju ke kamarku yang sedari aku kecil selalu ada di lantai
bawah dekat kamar mandi. Di kamar ini aku dapat melihat pemandangan yang indah,
semuanya terasa tenang dan damai, seakan – akan aku bisa melupakan semua
masalah yang aku hadapi. Setelah aku selesai istirahat dan makan aku menepati
janji untuk bercerita kepada nenek, padahal aku juga yakin kalau Ibu sudah
cerita. “Nek, lagi apa?”, “Ini lagi buat bros untuk kamu cantik”, “ Iya?
Makasih ya nek” kataku sambil memeluk nenek “ Iya sama – sama sayang, oh iya
tadi kamu mau cerita sama nenek, ada apa?” , “ Iya nek, jadi aku ke Bali ini
mau menenangkan hati soalnya aku lagi muak aja di Jakarta, banyak masalah nek”
, “Tapi kamu gak boleh lari dari masalah ya sayang, semuanya pasti ada jalan
keluarnya, kamu harus percaya itu, semakin besar masalah yang kamu hadapi, kamu
akan jadi manusia yang semakin berkualitas nantinya, tapi untuk kali ini kamu
boleh banget tinggal di Bali, soalnya nenek kesepian disini”, “ Iya nek, aku
yakin kok akan semua itu, yahh hitung aja aku liburan di Bali hehehehe, oh iya
nek aku mau jalan – jalan nanti sore boleh?” “Boleh dong, pokoknya cucu nenek
disini gak boleh sedih – sedihan harus bahagia terus yaa, nanti nenek suruh
temenin si Hildan”, “Hildan? Dia siapa nek dia itu penjaga villa punya nenek,
teman kecil kamu dulu” , “Oh iya iya, aku lupa hehehe, ya udah aku pergi dulu
ya nek” “Iya, ya udah sana hati – hati ya”
Disini aku sendiri
merasa sepi, berusaha melupakan dan bertahan, semua begitu tenang walau tidak
dapat dipungkiri lagi kalau hati ini masih sakit. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”
Aku teriak sekencang kencangnya di pinggir pantai, “Itu kurang keras, lebih
keras lagi”, “ Kamu siapa?”, “ Aku Hildan, kamu Jihan kan?”, “ Iya, hai apa
kabar?”, “ Baik, memang kamu masih ingat aku?” , “Sebenernya sih aku udah lupa
hehehe”, “Kalau akusih gak akan lupa sama kamu” , “ Maksud kamu?” tanyaku
bingung “Sudahlah, hmm kata nenek kamu lagi sedih ya? Pasti patah hati ya?” ,
“Hahaha kamu itu sok tau banget ya, tapi bener sih” kataku sedikit keki “Tuh
kan bener, oh iya gimana kalau kita ngobrolnya di tempat yang asik, kamu mau?”,
“ Boleh – boleh ayo”
Hildan, siapa dia?
Entahlah mungkin malaikat yang Tuhan kirimkan untuk menghiburku saat ini.
“Nahh, gimana tempatnya asik kan?” waw… Hildan membawaku kesebuah restoran
dibawah laut, entahlah tapi ini sungguh indah. “ Ini keren banget, waw.. keren
banget asli” kataku terperangah “Hahaha iya dong, nah sekarang kalau kamu gak
keberatan kamu bisa cerita sama aku”. “Okey… aku akan cerita, jadi aku ini pengacara
sebelumnya, hmm sekarang masih tapi cuti dulu hehehe, aku merasa kalau apa yang
aku kerjakan selama ini itu jahat, selalu membela orang – orang yang membayar
bukan yang benar, dan sampai akhirnya orang yang aku sayang, datang lagi dalam
kehidupan aku, dia selalu berusaha membuat aku sadar bahwa apa yang aku lakuin
ini itu salah, dan akhirnya ada suatu permasalahan besar,dimana kalau aku
meninggalkannya semua akan lenyap, dan aku meninggalkannya, dan aku tidak
menyesal akan hal itu yang membuat aku sakit adalah, orang yang selama ini aku
sayang aku tunggu, dia menikah minggu ini, dan dia itu orang yang membuat aku
sadar bahwa cinta itu bukan hal yang pasti, entahlah masih bisa atau tidak aku
merasakan cinta lagi, hati ini seperti beku.”, “ Tidak ada masalah yang tidak
ada jalan keluarnya, kamu pintar sudah mengambil keputusan yang benar, dan kamu
juga pantas merasa sedih, yang salah hanya satu” , “Apa?” “Kamu tidak boleh
lelah dalam mencintai, dan kamu masih punya cinta, cobalah kamu merasakan
dengan lebih sabar, tenang, dan dalami rasa itu” , “Aku masih ga faham sama apa
yang kamu bilang tadi” , “nanti kamu juga tahu maksud aku”.
Dan itu bukan kali terakhir aku jalan bersama
Hildan, dia selalu mengajakku ke tempat – tempat yang menyenangkan, dia selalu
membuat aku tertawa dan tersenyum, tingkahlakunya sungguh membuat aku nyaman
saat bersamanya, dia memang orang yang sederhana, tapi dia memperlakukan aku
dengan sangat luar biasa. Setiap hari dia selalu memberikanku sepucuk surat dan
aku dilarang membacanya, entah apa isinya aku juga penasaran tapi dia tetap
teguh melarangku untuk membukannya, sampai pada waktunya aku diajak kerumahnya.
Tapi belum sempat aku kerumah Hildan, ada kabar dari Jakarta yang mengabarkan
kalau Ibu sakit, tanpa berfikir panjang aku langsung ke Jakarta, dan Hildan
menemaniku. Sesampainya di Jakarta Ibu sudah berada di rumah sakit, kondisinya
memang sangat lemah, namun itu karena kelelahan. Saat dirumah sakit aku bertemu
dengan Roni, “Hai Jih, gimana keadaan Ibu kamu?”,“Makasih ya Ron, kamu udah
bawa ibu aku ke rumah sakit” , “ Iya sama – sama, itu udah kewajiban kita kan
sesama manusia harus saling tolong menolong, oh iya aku dengar kamu pindah ke
Bali ya?” , “Iya, rencana aku mau tinggal di Bali tapi Ibu sakit jadi aku fikir
– fikir lagi deh, oh iya gimana pernikahan kamu, lancar kan?”, “ Batal jih,
pernikahan aku batal” , “Kenapa Ron? Kok bisa?” tanyaku terkejut “ Iya karena
aku memang tidak mencintai Fanny, kamu tahu aku mencintai siapa bukan?” tidak
lama Hildan datang membawa obat, “Hai, ini Roni Jih?” “Oh iya, Ron ini Hildan
temen masa kecil aku di Bali” dan mereka berjabat tangan, “ Gimana udah ditebus
obatnya?” “Iya ini udah, ya udah aku ke kamar dulu ya mau kasih Ibu Obat” ucap
Hildan, yang aku rasa dia merasa tidak nyaman berada diantara aku dan Roni
“Ron, aku bantuin Hildan dulu ya”, “Tapi Jih, gimana sama kita?” , “Maaf Ron,
aku gak bisa jawab sekarang” dan aku pergi meninggalkan Roni di selasar rumah
sakit.
Keesokan harinya Hildan
meninggalkan surat di meja kamarku, ternyata dia sudah kembali ke Bali, entah
mengapa aku merasa sedih dengan kepergian Hildan. Siang harinya aku bertemu
dengan Roni, aku rasa ini saat yang tepat dan aku yakin dengan apa yang aku
rasa “ Jihan, apa kamu sudah punya jawaban dari pernyataan aku kemarin?” ucap
Roni sambil mengenggam tanganku “Maaf Ron, tapi semenjak kamu pergi ninggalin
aku kemarin, hati ini sudah ada yang mengisi, maaf Ron, aku gak bermaksud sama
sekali, tapi perasaan aku….” , “Iya aku tahu, aku melihat tatapan kamu berbeda
saat menatap Hildan, dan itu tatapan yang kamu berikan untukku dulu” , “Maafin
aku ya Ron”
Hari itu aku juga
memutuskan untuk membawa Ibu ke Bali, aku ingin memulai kehidupan baruku di Bali, dan
melanjutkan karierku di Bali, kali ini Ibu setuju dengan keinginanku itu. Dan
sesampainya di Bali seperti biasa Nenek menyambut aku dan Ibuku dengan luar
biasa, pelukan hangat yang tiada tandingannya, sungguh aku sangat merindukan
moment seperti ini, tapi aku tidak melihat Hildan. “Nek, Hildan dimana ya?”
tanyaku “Cieee kok yang di cari Hildan sih?” , “Apaan sih nenek nih” ,
“Bercanda sayang, itu Hildan ada di kamar atas susul aja” aku langsung lari
kelantai atas dan yaps Hildan sedang melamun, “Dorrr”, “Ya ampun Jihan, kamu
buat aku kaget aja, kapan kamu sampai di Bali, Ibu kamu bukannya masih harus
dijagain?” , “Ihh kamu itu bawel banget yah, jadi aku sama Ibu udah mutusin
untuk tinggal di Bali, pasti kamu seneng yakan? Hayoo ngaku” Ledekku dan Hildan
langsung mencubit pipiku pelan.
“Jihan, aku mau
memperlihatkan sesuatu sama kamu” , “ Apa itu?” Hildan menarik tanganku dan
membawaku kekamarnya, dan ternyata…. Diseluruh sudut kamarnya berisi fotoku,
dan kertas – kertas yang bertuliskan namaku. “Ini.. ini apa Hildan?” “Sama
seperti kamu Jihan, sama seperti perasaan yang kamu miliki untuk Roni, itu
semua sama dengan apa yang aku rasakan ke kamu, sejak dulu aku sudah menyukai
kamu, aku sangat sedih saat Ibu kamu memindahkan kamu ke Jakarta, aku sepi
disini, aku terus memikirkan kamu setiap hari, dan sampai saat ini, detik ini,
rasa yang aku miliki masih sama. Entah apa aku pantas mencintai kamu atau
tidak, mungkin kamu risih karena….” Sebelum Hildan melanjutkan ucapannya aku
menghentikannya dengan jari telunjukku “ Sudahlah, mungkin aku juga tidak faham
tentang cinta, tapi yang jelas aku merasa sangat nyaman jika berada di dekat
kamu Hildan, apa itu cinta?” Hildan hanya terdiam “ Aku takut Hildan, untuk
mulai memiliki rasa itu lagi, takut sakit, dan menyakiti, aku takut kamu sakit
Hildan” Hildan masih terdiam “ Dimana kita harus mencari kepastian Hildan?
Dimana? Aku ingin tahu apa aku pantas menerima cinta yang kamu miliki?”, “Aku
tahu Jihan, kamu masih terbayang akan Roni, aku mengeri”, “ Bukan itu Hildan,
aku takut kamu merasa sakit”, “ Baiklah aku mengerti”, “Jadi, keputusannya?” ,
“Maksud kamu?”, “ Apa kamu siap mencintai aku seutuhnya?” , Hildan tersenyum
dan memelukku dengan erat “ Iya aku siap, aku siap Jihan” , “Hahahaha kamu lucu
ya kalau lagi serius kaya tadi”, “kamu tuh yang buat aku jantungan” , “ Iya deh
aku lagi aku lagi hahahaha”, “Jihan, I Love You” , “Hmm Hildan I love you too”
Cinta, rasa yang simple
tetapi maknanya sungguh luarbiasa, kebahagiaan yang tidak perlu dicari tetapi
dapat kita rasakan, dimana tidak ada alasan untuk menjelaskan rasa ini, ada
rasa sakit, kecewa, sedih, tangisan, tawa, semua itu dapat kita rasakan dalam 1
kata. Cinta. Apakah kita telah memberikan Cinta kepada orang yang tepat, karena
Cinta itu adalah rasa suci yang sempurna.
Semenjak Jihan memutuskan untuk tinggal di Bali, Roni meneruskan mimpinya dan keluarganya untuk terus membantu orang - orang yang kesulitan dalam bidang hukum. Dan Roni masih belum mampu untuk menghilangkan secara keseluruhan, tentang perasaanya kepada Jihan, namun Roni terus berusaha bangkit. Dan dengan berjalannya waktu akhirnya dia menikah dengan salah satu klien yang dia bantu.
Semenjak Jihan memutuskan untuk tinggal di Bali, Roni meneruskan mimpinya dan keluarganya untuk terus membantu orang - orang yang kesulitan dalam bidang hukum. Dan Roni masih belum mampu untuk menghilangkan secara keseluruhan, tentang perasaanya kepada Jihan, namun Roni terus berusaha bangkit. Dan dengan berjalannya waktu akhirnya dia menikah dengan salah satu klien yang dia bantu.
"Pagi selalu sempurna
untuk sebuah awal yang terjaga. Harapan itu, dan segala apapun tentangmu. Dulu,
ada satu keajaiban yang membangunkanku dari ruang hampa, dan kamu lah orangnya.
Kini, aku masih percaya, akans ada keajaiban kedua. Siapa lagi kalau bukan kamu
muaranya.
Bukan cinta yang
memisahkan , tapi kita yang membuatnya terjadi.
Bukan cinta yang
melukai, kita yang membuatnya terjadi sedemikian rupa.
Dan, semoga kita tak
pernah berpikir untuk melakukannya". Itulah isi surat yang Hildan berikan kepada Jihan.Semuanya berakhir dengan bahagia, mereka membangun keluarga kecil yang sempurna. Dengan adanya Cinta yang mereka miliki, semuanya begitu mudah mereka jalani. Cinta... Memang ini rasanya.
~ The end ~